Dayat Baxtiar
Oleh: Emha Ainun Nadjib

ADA kesombongan orang berkuasa. Ada kesombongan orang kaya. Ada kesombongan orang pandai. Juga ada kesombongan orang saleh.
Kita awali dengan suatu identifikasi elementer. Semua orang adalah rakyat, tetapi kalau ada penguasa, maka yang dimaksud dengan rakyat tentu mereka yang dikuasai. Rakyat adalah yang miskin, rakyat adalah yang bodoh, dan rakyat adalah yang selalu belum saleh. Identifikasi yang lebih ke tingkat praksis, rakyat selalu adalah pihak yang diatur pihak yang berkuasa.
Kenyataan ini punya peluang amat besar untuk bertentangan dengan asas hakiki demokrasi, serta amat mencurigakan dipandang dari rasionalitas dan proporsi manajemen kenegaraan dan kebangsaan.
Seorang polisi bisa terjebak untuk menganggap dirinya adalah penggenggam hukum, dan rakyat adalah Wilayah terapan hukum.
Kemudian konteks kesombongan orang kaya: dalam wacana pembangunan di hampir
semua kalangan, selalu rakyat adalah pihak yang disebut harus dan sedang diberdayakan dari kelemahan ekonomi, dientaskan dari kemiskinan, dan diselamatkan dari keterpurukan.
PANDANGAN ini amat laknat terhadap kenyataan bahwa sebenarnya rakyat adalah pemilik kekayaan amat melimpah dari tanah rahmat Tuhan bernama Republik Indonesia. Namun, kekayaan rakyat itu dijadikan langganan perampokan oleh tiap penguasa. Dan setiap penguasa selalu tidak tahu diri berlagak menjadi pahlawan yang akan melakukan perubahan dari kondisi miskin rakyat menuju tidak miskin.
Menurut parameter teknis statistik perekonomian dunia, rakyat Indonesia memang rata-rata miskin, namun kenyataannya rakyat adalah pengupaya ekonomi yang luar biasa di bawah atmosfer kejahatan negaranya sehingga aneka upaya berekonomi kerakyatan itulah yang berjasa mempertahankan negeri ini dari kebangkrutan total.
Kegiatan utama kebanyakan pejabat adalah mengacaukan stabilitas kesejahteraan rakyat, menikusi administrasi keuangan negara milik rakyat, mencuri dengan berjemaah dan dengan modus-modus yang makin tidak kasatmata. Namun, ubet ekonomi rakyat, "budaya kaki lima" yang cair dan longgar, menciptakan semacam "pernapasan dalam" yang membuat rakyat terus survive meski hampir tak ada suplai udara dari negara.
Puluhan kali, bahkan mungkin ratusan atau ribuan kali, para penjahat penunggang negara melakukan penipuan, penilapan dan pencurian besar-besaran atas harta rakyat yang diamanatkan manajemennya kepada negara. Namun, ribuan kali pula rakyat sukses mempertahankan diri mereka dari kebangkrutan total.
Meski demikian, siapa pun yang sedang berpamrih ingin berkuasa dan ketika kemudian benar-benar berkuasa: selalu dengan kemantapan dan keangkuhan luar biasa, menyatakan akan dan sedang menyelamatkan rakyat dari kebangkrutan.

KEMUDIAN konteks kesombongan orang pandai. Tak ada subyek yang lebih nyata yang selalu diasosiasikan sebagai golongan penyandang kebodohan, melebihi rakyat. Rakyat adalah orang bodoh, karena setiap kali orang menjadi pandai, ia menjumpai dirinya bukan rakyat lagi.
Hampir setiap orang yang diam-diam menggolongkan dirinya sebagai orang pandai, merancang diri untuk melakukan pemandaian atas rakyat. Pejabat memberi penerangan terhadap kegelapan dan kebodohan rakyat. Calon-calon sarjana mengajari rakyat selama kuliah kerja nyata. Kaum intelektual menyebar aneka wacana untuk mendobrak kesempitan wawasan rakyat. Duta-duta informasi dan komunikasi menabur ilmu dan pengetahuan agar rakyat melek dunia.
Bahkan mahasiswa masuk kuliah hari pertama bisa terjebak anggapan diam-diam di
dalam dirinya, mulai hari itu ia melangkah meninggalkan kebodohan rakyat yang kemarin masih jadi bagian darinya. Kapan ada rezim tumbang, harus mahasiswa yang direkognasi sebagai pelaku utama. Sebab, agent of change mustahil pelakunya adalah rakyat.
DAN akhirnya yang paling khianat, yang paling menyakitkan hati, yang mungkin
Tuhan pun tidak rela: adalah tradisi kesombongan orang saleh. Rakyat dikasih pengajian tiap hari seakan-akan rakyatlah yang paling jahat hatinya dan paling kotor hidupnya. Malam rakyat diulamai, pagi mereka dipastori, siang mereka dipendetai, sore mereka dibegawani. Rakyat dibimbing agar beriman seakan-akan rakyat adalah siswa-siswi taman kanak-kanak. Rakyat disantuni, diajari bagaimana menata kalbu, padahal tak ada pakar penanggung derita yang tingkat keahlian dan kemampuannya melebihi rakyat.
Jika Quran menyebut "berimanlah kepada Allah", yang dituju adalah rakyat, bukan
ustadz atau ulama. "Wahai orang-orang kafir"-itu kemungkinan besar rakyat, mustahil Pak Kiai. "Dekatkanlah dirimu kepada orang saleh"- maksud Tuhan tentu
hendaknya rakyat mendekat-dekat kepada ustadz, bukan ustadz mendekat-dekat dan belajar kepada umat. Bahkan dai, mubalig, ustadz, ulama, dijunjung-junjung, namun dengan parameter industri dan ukuran feodalisme, untuk akhirnya ditertawakan dan
ditinggalkan rakyat yang memiliki feeling dan jenis pengetahuan sendiri tentang
siapa ulama siapa pencoleng, siapa ustadz siapa bakul pasar.

ADA semacam feodalisme naluriah dalam psikologi kita, mungkin karena tak pernah sembuh dari trauma penjajahan fisik dan nilai yang tak pernah usai dalam kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan kita. Kalau mendengar kata "rakyat", tanpa sengaja langsung ada perasaan look down dan menemukan yang bernama rakyat itu ada di dasar jurang dari peta nilai yang kita kenal tentang kemanusiaan dan kebudayaan.
Saya menduga naluri feodalisme, kelas dan "kasta" itu tidak menjadi kikis misalnya oleh pengalaman intelektual atau kesadaran demokrasi atau egalitarianisme. Misalnya, rakyat "yang paling rakyat" adalah pembantu rumah tangga. Tak sedikit contoh bagaimana seorang profesor doktor, pejabat tinggi, atau ulama memperlakukan pembantu rumah benar-benar sebagai "pembantu rumah tangga" yang hampir berkonsep mirip perbudakan. Rumah tangga awam terbukti bisa lebih egaliter, santai, dan demokratis kepada pembantu rumah tangga.
Salah satu latar belakangnya mungkin karena peningkatan pendidikan masih tidak mandiri dari stratifikasi kelas budaya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin menumbuhkan perasaan lebih unggul dan lebih tinggi derajatnya sebagai manusia. Dunia pendidikan tidak punya concern mendasar terhadap nilai kedewasaan sosial, kerendahan hati kemanusiaan, kematangan jiwa atau demokrasi kebudayaan.

KARENA kecurangan feodal juga kemudian: TKI-TKW, umpamanya, "rakyat yang paling rakyat" lainnya, kita pandang sebagai faktor noda dan kehinaan sebagai bangsa. TKW dijadikan suku cadang utama kalimat penghinaan atas diri kita sendiri. Kita nyeletuk dengan hati yang merasa nyaman dan puas: negeri lain mengekspor produk-produk teknologi bergengsi peradaban tinggi, sementara negara kita mengekspor TKI-TKW.

Dan, kita tidak melakukan apa pun yang lain kecuali menghina dan merendahkan TKI-TKW, anak-anak kita sendiri. Tidak menolong mereka,tidak membela mereka dalam kasus-kasus mengerikan yang menimpa mereka. Sebuah LSM di Jakarta melaporkan sekurang- kurangnya ada tiga juta kasus TKI-TKW di luar negeri tanpa satu pun pernah dibereskan pihak yang berwajib dan digaji untuk pekerjaan menangani nasib TKI-TKW.

Pekerjaan kita hanya menghina sambil pada saat bersamaan memanfaatkan mereka di rumah tangga kita masing-masing. Kehidupan sehari-hari rumah tangga kita amat bergantung pada mereka, upah yang dibayarkan kepada mereka adalah jumlah gaji yang tidak pantas untuk penghidupan manusia, plus bonus penghinaan dalam hati, cara berpikir dan tradisi perilaku budaya kita atas mereka.
Dengan begitu, kita adalah serendah-rendahnya dan sehina-hinanya manusia sehingga karena itu pula kita memiliki keperluan untuk menghina mereka. Semakin hina dan rendah jiwa seseorang, semakintinggi kebutuhannya untuk memperhinakan sesamanya. Memang secara psikologis demikian itulah formula survival kejiwaannya.
Bahkan kalau mereka pulang ke Tanah Air, sudah disiapkan lembaga dan birokrasi yang khusus melakukan dua pekerjaan hina. Pertama,menyiapkan terminal dan gate khusus untuk memperhinakan mereka. Kedua, kebijakan memperhinakan diri sendiri dengan cara memeras uang jerih payah mereka bekerja hina bertahun-tahun di negeri orang.
Pemerasan itu berlangsung eskalatif dari tahap ke tahap. Resmi maupun liar. Dan, puncak kehinaan kita adalah memperlakukan para koruptor keluar masuk bandara sebagai raja, sementara TKI-TKW yang balik kampung menguras uang dari luar negeri untuk sumbangan besar kepada devisa negara justru kita injak-injak martabatnya.

BANGSA yang hina melahirkan generasi demi generasi hina, memilih dan menjunjung presiden dan menteri-menteri hina, mengutus dan menggaji perwakilan-perwakilan hina, sambil menyusu dan mempekerjakan orang-orang yang dihina, menikmati kerja dan makanan anak-anak terhina itu sambil terus memelihara di hati dan otak hinaan-hinaan atas mereka.
Pada kenyataan hakikinya, rakyat adalah Ibu Bapak sejarah yang kita TKITKW-kan sepanjang masa. Rakyat adalah TKI-TKW di genggaman tangan dan dibawah injakan kaki para pemegang tongkat sejarah, baik tongkat kekuasaan politik, modal, wacana, dan informasi. Rakyat yang ditipu terus-menerus. Yang dibodohi dari era ke era. Yang dipecundangi dari periode ke periode. Yang namanya disebut, dikomoditaskan, diatasnamakan oleh setiap yang sedang berkepentingan untuk menguasai mereka, kemudian melupakan dan melecehkan mereka begitu kekuasaan itu tergenggam di tangannya.
Yang tidak pernah digubris hak-hak dasarnya. Yang kemuliaan posisinya dipakai sebagai mahkota kekuasaan, namun dalam praktik pundak mereka ditunggangi dan kepala harkat demokrasi mereka dibenamkan ke bagian bawah rendaman cairan air liur teori-teori dan pidato-pidato demokrasi.
Rakyat yang hanya punya satu kegiatan kenegaraan: yaitu dikempongi oleh kekuasaan, gigi-gigi kekuatan sejarahnya dibikin rampal sehingga mulut kedaulatannya kempong. Rakyat yang bisa dipukuli kapan saja, dikelabui pagi hari diakali sore hari,dininabobo siang hari dicuri miliknya malam hari.

RAKYAT yang diperhinakan oleh gaya kepemimpinan yang memakai merah darah mereka sebagai gincu. Rakyat yang dibodohi sehingga akhirnya tidak lagi mengenal kebodohan. Rakyat yang terus-menerus dan terlalu lama dihina sehingga akhirnya benar-benar menjadi hina tanpa tersisa sedikitpun kesadaran dan pengetahuan bahwa mereka hina.
Jangankan membedakan mana kehinaan mana kemuliaan di dalam kompleksitas kehidupan berbangsa, sedangkan sekadar bermain sepak bola kalau kalah tak tahu kenapa kalah dan kalau menang salah menemukan sebabnya kenapa menang.
Visi, wawasan, ilmu, identifikasi, dan pemetaan nilai-nilai dan realitas telah menjadi suatu jenis seni rupa impresionis instan. Kehidupan intelektual yang menjadi muatan utama komunikasi dan informasi sudah mengalami aneka pecahan,pengepingan-pengepingan, syndrome of disconnected awareness. Bahkan dalam mengomentari pertandingan tinju, dalam satu ronde kita mengalami pergantian parameter sampai empat-lima kali, saking tidak mendasar dan tidak menentunya prinsip ilmu pertinjuan kita.
Bangsa yang sekaligus mengalami ketersesatan intelektual, politis, kultural, spiritual, bahkan ketersesatan teknis untuk soal-soal yang sangat sederhana. Mencari Tuhan, yang didatangi dukun. Mencari ulama, yang dikejar pedagang. Mencari orang pandai, yang ditunggu pelawak. Mencari soto enak, pergi ke tukang tambal ban. Mencari pemimpin, yang dijunjung bintang film. Mencari bintang, yang diburu meteor. Mencari tokoh, yang disongsong perampok. Plastik diwarnai keemasan, emas dijadikan ganjal lemari. Nasi diperlakukan sebagai kerupuk, terasi didewakan sebagai makanan utama.
Bangsa yang kehilangan parameter hampir di segala bidang. Bangsa yang memilih langsung presidennya, namun tanpa melewati pijakan substansi demokrasi. Bangsa yang ditenggelamkan oleh air bah informasi tiap hari, namun semakin tidak mengerti apa yang seharusnya mereka mengerti. Bangsa yang sudah kehilangan ukuran apakah mereka sedang maju atau mundur, apakah mereka sedang dihina ataukah dimuliakan, apakah mereka pandai atau bodoh, apakah mereka menang atau kalah. Bangsa yang peta identifikasi dirinya makin terhapus, sebagai manusia, sebagai rakyat, atau bangsa.
Bangsa yang-sesekali-menjalankan hukum, namun tanpa kesadaran dan hikmah hukum,
tanpa kesanggupan untuk mengapresiasi nikmatnya berkebudayaan hukum. Bangsa yang sangat tampak secara wadak sedang menjalankan ajaran agama, namun hampir tak terdapat pada perilakunya dialektika berpikir agama, tak ada kausalitas mendasar antara input dan output nilai agama. Bahkan terdapat diskoneksi ekstrem antara praksis kehidupan beragama dengan hakikat Tuhan.

YANG paling beruntung dalam kehidupan sepanjang ada sejarah umat manusia adalah Pemerintah Indonesia. Karena semakin hari rakyatnya semakin tidak paham apakah pemerintahnya berhasil atau gagal. Semakin tidak memiliki kepekaan dan sasmita apakah mereka dicintai atau tidak oleh pemerintahnya. Semakin kehilangan ukuran apakah dari pemerintahnya mereka sedang memperoleh kesetiaan dan semangat pengabdian, ataukah pengkhianatan dan proses-proses penghancuran.

Sungguh siapa saja yang duduk dalam struktur pemerintahan negeri ini adalah "Kiai Bejo", "Kiai Untung" atau "Kiai Hoki". Orang yang mendapatkan keuntungan meskipun tanpa bekerja. Salah satu pemeo membuat rumus: orang bodoh kalah oleh orang pandai, orang pandai kalah oleh orang berkuasa, orang berkuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang bejo.

Setiap Pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam konstelasi pemeo itu,sebab mereka sekaligus pandai, berkuasa, kaya, dan bejo.

* Budayawan

Kompas - Kamis, 17 Februari 2005

Saya berkesimpulan sederhana saja, Negara ini memang milik Pemerintah, bukan rakyat. rakyat cuma nge-kost..
Dayat Baxtiar
Perbedaan dikalangan ummatku adalah rahmat. -Al Hadist

Saya tertarik dengan pernyataan Cak Nun mengenai kampanye yang seharusnya dilakukan didalam rumah-rumah ibadah. Sebab disanalah tiap umat beragama merasakan dekat dengan Tuhan dan 'lebih khusyuk' dalam melakukan janji-janji yang ada dalam kampanye mereka.
Kalo dipikir-pikir, selama ini kita justeru sebaliknya. Dalam pikiran kita, jika ada orang melakukan kampanye di Rumah2 ibadah maka itu bersifat 'saru' (sodaranya SARA kalee..) dan dianggap melakukan penodaan terhadap rumah Tuhan.
Namun jika kita mau berfikir lebih jauh, kita akan dapatkan logika sebagai berikut:
Jika janji janji kampanye dilakukan di luar Rumah Tuhan, artinya kita melakukan 'penjauhan ' dengan Tuhan. artinya kita me'nomor sekian'kan Tuhan. Makanya caleg2 itu bisa dengan 'ringan' mengobral janji-jani mulia tapi ditempat yang jauh dari rumah Tuhan. Maka dibelakang hari, mereka tidak akan terbebani dengan janji-janji kampanye tersebut. sebab toh, pada saat kampanye, mereka tidak benar-benar bersaksi dengan nama Tuhan. deal?...
Yang kedua
Karena jauh dengan rumah Tuhan, maka mereka yang melakukan kampanye kemungkinan adalah juga orang-orang yang juga jauh dengan perintah-perintah Tuhan. bisa jadi mereka orang-orang jahat, yang kerjanya adalah memanfaat kursi kekuasaan untuk memperkaya diri(kayaknya inilah yang sedang terjadi saat ini...) dan kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Maka jangan heran kalau politikus-politikus kita kurang peduli dengan kesejahteraan rakyat sampai saat ini. padahal yang namanya wakil rakyat, sejatinya adalah 'melayani' rakyat. dan bukan 'memanfaatkan' rakyat.

Kalo boleh usul, jika ada "kontrak politik", semoga itu dilakukan dengan nama Tuhan dan dilakukan di dalam rumah Tuhan. Sebab suara rakyat adalah suara Tuhan...

Sebab kalo dilakukan jauh diluar koridor Tuhan.. saya khawatir kita malah dekat dengan setan... Maka yang terjadi adalah perjanjian kontrak politik dengan disaksikan setan.

Tulisan ini saya ketik dengan sesekali memandangi bendera Merah Putih yang berkibar terkhempas angin jalanan didepan warnet..... seakan melambai-lambai dan berkata : " Masih ada harapan untuk menjadi lebih baik... Semangatlah... Merdeka!"


...................Sudah saatnya kita merubah pola pikir kita.......................
Dayat Baxtiar

Minggu ini setahun yang lalu.

Adalah hari2 yang begitu membuatku stress di kala menyusuri kota Denhaag. Tujuan hidup yang tak pasti, diperdaya oleh kelicikan tetangga sendiri. Orang yang selama ini telah kuberi kesempatan mendapatkan tempat tinggal yang cukup layak setelah 2 anaknya diusir dari rumah lama mereka entah kenapa.

Adalah keinginanku juga untuk mencari rejeki di negara2 makmur. Dengan semangat ‘mumpung masih muda’ aku meyakinkan istriku yang sudah hamil 9 bulan itu akan keyakinanku untuk bias mencari modal sebanyak-banyaknya di negeri Belanda. Bahkan aku berniat untuk mengajaknya kelak. Namun kenyataan berjalan 180 derajat.

Malang-Jakarta aku tempuh dengan bis Malam kira2 selama 18 jam. Setelah tiba di rawamangun, aku dijemput seseorang yang konon adalah teman baik suami Dwi Utami , orang yang mengirim aku kesana. Dan memang, orang yang mengaku bernama Hanan ini menjemput aku di terminal Rawamangun ,setelah berkenalan sebentar, selanjutnya kami meneruskan perjalanan ke Bandara Cengkareng. Kami berhenti di tempat pemberangkatan Internasional. Disana kami menunggu 2 orang lagi yang akan berangkat bersama aku. Mbak Sofie dan Fidah.

Mbak sofie ini orangnya baik. Dia bahkan ikut dimanfaatkan oleh dwi utami untuk memuluskan rencananya , yakni mengeruk keuntungan dari misi kami bertiga dalam mencari kehidupan di Belanda dengan cara mengikuti pameran pasar malam besar yang diadakan tiap tahun bertempat di Mallivield, Denhaag.

Tanpa istirahat yang cukup, aku meneruskan perjalanan bersama Mbak Sofie dan Fidah. Setelah mengambil paspor dan visa dari ‘Vista Express sebagai agen yang menangani perjalanan dan stand pameran di Belanda, kami memasuki tempat boarding pass. Semua berjalan lancer termasuk setelah pembayaran viskal 1 juta per orang. Hanya barang2 pameran itu yang selalu membuat kami kewalahan untuk membawa serta kedalam kabin pesawat. Maklum, Dari Malang, aku dititipi barang2 itu agar memangkas biaya transport. Dengan tanpa keberatan dan curiga, aku mau melakukannya, demi impianku untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik disana.

Chatay pacific adalah pesawat yang akan mengangkut kami ke Bandar Schipol ,Amsterdam. Kira kira jam5 sore WIB, pesawat kami take off dari bandara Soekarno Hatta menuju Hongkong, kami harus transit disana karena pesawat dari maskapai Indonesia sedang mengalami larangan terbang ke Eropa. Bahkan sampai tulisan ini saya terbitkan, kayaknya larangan itu belum dicabut juga. Konon, Pesawat2 kita nggak layak pakai , sering mengalami kecelakaan dan tidak sesuai standard kelayakan yang berlaku di Eropa. Kayaknya sih memamang begitu.

Tiba di Kowloon,Hongkong, seakan mengingatkan aku pertama kali menginjakkan kaki di bandara Kansai, Jepang. Bandara yang cukup mewah dibandingkan yang ada di Indonesia. Aku dulu heran, kenapa negara2 beriklim buruk seperti Jepang, Amerika ,Rusia bisa sedemikian maju dalam perkembangan tekhnologi, Sistem pemerintahan dan lain lain. Sedangkan Negara2 yang justru berada dalam garis katulistiwa seperti Indonesia, Filipina, Brazil, yang mendapatkan sinar matahari tiap hari, justru tidak mampu menjadi tred setter dalam perkembangannya. Tapi pengalaman di Jepang selama 3 tahun cukup membuatku memahami keadaan ini. Ternyata budaya masyarakat Jepang jaman dahulu yang mengedepankan kerja keras adalah kunci utamanya. Mereka memiliki rasa malu untuk melakukan kecurangan2 dalam menjalankan tugas, terutama orang2 pemerintah.

Di bandara Hongkong, kami bisa istirahat kira2 2 jam bersama2 para bule asli londo itu.setelah bisa menyasikan pemandangan sekitar kota kowloon di malam hari beberapa saat, kami meneruskan perjalanan ke Amsterdam, masih dangan cathay pacificyang konon menjadi maskapai dengan pelayanan terbaik se Asia..

Bulan Mei saat itu adalah bulan di saat2 menjelang musim panas, tetapi hawanya masih terasa sangat dingin dikala pagi. Dari atas pesawat aku masih bisa melihat gumpalan awan yang seakan membeku ketika melewati pinggiran kota2 Eropa.

Didalam pesawat, selama perjalanan, kami bertiga mulai bertambah akrab dengan adanya perbincangan2 kecil. Aku menceritakan perjalananku dari Malang dengan memakai biaya sendiri. “ jadi mbak, kalo ditotaltotal, kira2 aku habis 27 juta untuk ke Belanda ini…” . “Ooo begitu ya.” Sahut mbak sofie. “ Fidah lebih mahal lho ,Yat. Dia habis 30 juta” katanya lagi. Aku terkejut, tapi setelah yang bersangkutan membenarkan pernyataan itu, aku mulai curiga dengan gelagat ini. Kami segera ‘open up’ mengenai biaya kami masing2. Aku memang dikenakan biaya 25 juta. Tapi kalo di total sama Visa, biaya Malang-jakarta plus capeknya, ya sekitar segitu. Perjalanan Malang Amsterdam, aku tempuh dengan beristirahat tidur kira kira 5 jam. Jetlag, itu sudah pasti. “ Aku dikenakan 25 juta juga, Cuma biaya lain lain aku juga ikut nalangi lho.. “ lanjut mbak Sofie. Aku bisa menaksir biaya yang dikeluarkan mbak Sofie juga tidak jauh berbeda denganku. Tapi dengan pengalaman hidupnya di negri Belanda dulu, dia pasti bisa mengira ngira seberapa besar batas biaya yang harus dikeluarkan.


***

Tiba di Amsterdam pagi waktu setempat, dengan suhu 8 derajat. Sebelum Landing, pesawat kami berputar putar di sekitar kota Belanda. Stadion Ajax bisa kami pantau dari atas. Besar dan megah. Bandara schipol, tempat dimana Munir, pejuang HAM dari Malang, Indonesia untuk terakhir kalinya ditemukan tewas, dan sampai kini pemerintah tidak mampu mentransparansikan peristiwa itu.Sungguh menyedihkan.

Saat- saat menegangkan itupun terjadi. Kami ditahan di pos penjagaan oleh Duane, kepolisian bandara di Belanda. Kami ditahan beberapa sat untuk pemeriksaan kelengkapan Surat2 perjalanan. Tetapi setelah menunjukkan tiket PP dan tujuan untuk mengikuti kegiatan Pasar Malam, kami dipersilahkan melanjutkan perjalanan. Diluar, kami sudah ditunggu oleh dua orang yang sudah dimintai tolong untuk menjemput kami. Iwan, Ahmad dan satu orang lagi saya sudah lupa nama adiknya mbak Sofie itu.

Fidah langsung dibawa pergi oleh Ahmad. Mereka menikah via internet. Jadi, suami itri itu baru berjumpa dibandara itu. Sebelumnya mereka tidak pernah berjumpa. Ah, jadi ingat kisahku sendiri. Pacaran via internet. Sekali berjumpa dibandara, menikah.

Kami berpencar. Mbak Sofie dengan adikkya, Aku dan Iwan meluncur langsung ke tempat Pameran dengan barang-barang dagangan yang aku bawa dari Malang. Berat dan capek tapi aku coba untuk tidak merasakannya . Kami berdua cukup kewalahan membawa barang2 itu. Terutama setelah tiba di sentral station Den Haag.Tidak ada sepeda atau trolly untuk memindahkannya. Secara manualdan manol, kami membawanya menuju stand dengan langkahku yang terseok seok. Setibanya disana, Betapa terkejutnya kami. Dalam stand itu, tidak ada meja, kursi untuk memajang barang, Yang ada disana adalah 4 kardus barang barang dagangan. Haduuh.. dalam kelelahan itu, aku mulai menyadari.. disana menunggu pekerjaan yang perlu pemikiran keras.yakni menyulap stand menjadi tempat pemajangan barang2 yang menarik. Dan yang lebih penting dalam pikiranku waktu itu… aku kesitu atas nama Kabupaten Malang… tapi kenyatannya, pameran berskala internasianal itu…. Ah, aku nggak bisa menggambarkan kekecewaanku saat itu.

***

Tersebutlah Nomini, seorang nenek nenek belanda beretnis India.Aku mengenal dia pertamakali saat ke Indonesia bersama anaknya, Edward,sebagai tamu dari Belanda. Waktu itu aku mau berteman dengan Edie,nama panggilan Edwarrd dengan harapan bisa saling bertukar pikiran . aku sering menemani Edie berjalan jalan mengenali kota Malang. Bahkan kami ber empat, Aku, Edie, Nomini dan Dwi utami sempat menghadiri launching buku “Malang Kembali” di Inggil, belakang Balai kota. Dwi Utami , kuakui orangnya supel, bergaul dengan kalangan menengah ke atas adalah keahliannya. Tapi dia selalu mengakhiri dengan bad ending. Hal ini aku dapatkan juga dari ibu Edi ,pemilik Sandiva Collection, toko souvenir di areal wisata Candi Singosari.

Banyak kecurangan yang dilakukan oleh Dwi Utami Kamhar dan suaminya Drs Ali Supaat pada kami bertiga. Namun atas nama etika, aku tidak akan menuliskan disini.

Hal yang paling aku sedihkan adalah keinginan mereka untuk menempati rumahku lebih besar daripada memperjuangkan nasibku di Belanda saat itu. Dwi Utami mencoba meyakinkan pada ibuku, bahwa rumahku yang aku kontrakkan pada dia, telah kuserahkan pada mereka. Padahal tidak begitu perjanjian kami.

Kesepakatan kami sebelum berangkat ke Belanda adalah: Dwi Utami akan membantu saya untuk mencarikan pekerjaan di Belanda. Dengan memanfaatkan pameran Pasar malam besar yang diadakan tiap tahun di kota DenHaag, saya akan mencoba bertahan hidup sebagai pekerja illegal. Tetapi kenyataanya, Dwi utami tidak bisa berangkat dikarenakan ada kasus special yang membuatnya sering ditolak dalam pengajuan Paspor dan visa. dia selalu berusaha meyakinkan aku untuk segera menyusul ke Pasar Malam, tetapi kenyataanya dia tetap di Singosari,Malang, Jatim, Indonesia, dan berusaha meyakinkan orang tua saya kalau keadaan saya di Belanda baik baik saja.

Nomini dating ke stand pameran dengan membawa mobil sendiri. Aku cukup surprised bertemu lagi dengan orang ini. Tapi sambutannya begitu dingin. Dia Cuma memeriksa barang, selebihnya melayangkan omelan dan makian pada Dwi Utami. Aku baru tersadar bahwa barang2 pameran disitu ,khususnya sandal dan sepatu ,bukanlah barangnya Dwi, tetapi barang2 pesanan Nomini. Aduh… apalagi ini… batinku. Tidak lama kemudian, muncul wanita cantik bernama Wanti. Mbak yang satu ini katanya teman akrab Dwi Utami. Dia orangnya baik, seperti halnya Iwan dan mbak Sofie. Tapi karena kesalah pahanku waktu itu, kami mejadi jauh. Sungguh, aku tidak bermaksud begitu. Tingkat kekesalanku pada Dwi utami begitu memuncak ketika aku kebingungan mencari tempat untuk tidur. Ah, andaikan waktu itu bisa tidur di stand pameran aku akan melakukannya.. Untunglah Iwan mau menolongku untuk menampungku tidur semalam di tempatnya. Sungguh, waktu itu aku lelah, capek, kesal dengan Dwi.Ditambah lagi dengan ketidak tenanganku memikirkan keadaan istriku yang hamil tua. Maklum, anak pertama kami sudah di ambil yang Maha Kuasa sehari sebelum waktunya lahir. Sedangkan anak kami yang kedua ini, disaat saat kelahirannya, bapaknya malah ke Belanda dengan tujuan yang belum tentu tercapai. Kacau jadi satu kucurahkan dengan tidur dikamar Iwan.

Ternyata adalah sesuatu yang sulit untuk mendapatkan tempat selayak itu untuk istirahat. Sebelumnya aku sempat berkenalan dengan beberapa teman2 Iwan disitu. Itulah pertamakali aku mendapat sambutan yang baik. Kami bahkan masih sempat sholat berjamaah. Indah.

Bangun pagi sekali, Iwan dan teman2nya mulai beraktivitas. Saya dipersilahkan istirahat dulu kalo masih capek. Tapi tidak bisa begitu juga. Aku harus segera menata stand pameran. Sebab diareal stand itu, hanya stand kami, atas nama kabupaten Malang , yang belum ditata rapi. Dengan Modal petunjuk dan uang pinjaman, aku menuju Malliviield naik trem, setelah sempat mengabadikan tempat bermalam pertamakali dengan handyCamku yang kuperoleh dari Jepang. Sebuah Kota yang didominasi oleh kaum Urban , tetapi nuansa Eropa begitu terlihat dari bentuk bangunannya.. pertamakalinya aku mengambil gambar, ya disitu. Aku lupa namanya.

Setelah tiba di Mallievield, aku sudah mendapati mbak sofie sedang menata barang. Aku tidak terlambat karena kami saling calling pake Hp. Kami mulai berkenalan juga dengan para tetangga stand, Ada tante Evi, tante Ruth, Om Robert, Oom Otto, serta Bu Djueni dan beberapa nama yang saya lupa. Mereka Baik dan mau membantu saya jika ada kesulitan bahasa. Dan dengan tidak segan2, aku mau membantu mereka jika diperlukan.

Hari ke dua itu adalah untuk pertamakalinya aku kebingungan untuk mencari tempat tinggal selanjutnya. Sebab Iwan tidak bisa lagi menampungku ditempatnya dengan beberapa alas an. Dan aku bisa mengerti itu. Untunglah ketika kami berbelanja hari sebelumnya secara tidak sengaja bertemu Nomini. Dia mau menampungku untuk tinggal di apartemennya. Akhirnya aku dan mbak Sofie tinggal di apartemen nomini. Aku masih ingat, nama blok dan jalannya. Jacob Maristraat, nomor 77. Hari ketiga, ternyata aku dan mbak Sofie tidak langsung bisa ke tempat pameran. Kami harus membantu Nomini berjualan sepatu di pasar. Nenek nek ini ternyata masih mampu menjalankan bisnisnya seorang diri. Mulai dari mengeluarkan mobil dari garasi dipagi hari, mengambil barang di gudang, sampai menatanya di pasar tradisional ‘Haagen markt’ (aduh saya lupa lagi nama pasarnya…) akibatnya kami terlambat pergi ke stand. Organisasi Pasar Malam Besar marah melihat hal ini. Stand kami di acak acak…. Untunglah tante tante tetangga stand mau berbaik hati membela kami. Untuk itu, kami mulai membuat rencana untuk hari selanjutnya.

Hari ketiga aku ikut nomini membantu dipasar, sedangkan mbak sofie langsung ke stand untuk jaga. Sehingga kami tidak lagi di damprat organisasi gara2 terlambat. Bahkan mereka sempat mempertanyakan keberadaan fidah dalam pameran itu. Untung mereka percaya dengan alibi2 yang kami berikan. Kami mengatakan kalo Fidah sedang ke saudaranya lah, sedang ke toilet lah, atau apa gitu… Namun keadaan semakin rumit ketika Pengurus stand menagih uang yang belum dibayar. 1500 euro. Ternyata oleh Dwi utami hanya dibayar 3 juta rupiah. Wow… sudah memuncakkah kekacauan ini?. Belum. Karena kami juga di tagih oleh pengurus gudang dan container. Mereka mengatakan kalo dwi utami belum membayar uang container barang2 nya selama 1 tahun. Pet, byar… aku baru sadar kalau aku sudah dijadikan umpan oleh ketamakan seorang manusia. Sebegitu mahal biaya kami untuk mengikuti pameran itu, ternyata dia masih berusaha mengkorupsi uang untuk pembayaran stand. Aku memilih untuk diam, tidak mau lagi membalas sms dari dwi. Sebab orang yang mengaku memiliki pacar sebagai pelatih ajax Amsterdam ini sudah nyata nyata berbohong pada kami.

Kira kira hari ke enam, pengurus stand mendatangi tempat kami dengan seorang polisi local. Haduh… aku semakin stress. Paspor aku serahkan.. “ kalo memang harus ditahan dan pulang, silahkan ambil paspor saya, saya tidak akan lari, saya tahu anda mencurigai saya. Disini saya hanya bertugas membantu memasarkan daerah wisata kabupaten Malang. “ tukas saya dengan ketus. Sontak pengurus stand itu mundur. Dikiranya saya takut melepaskan paspor saya untuk ditahan karena tidak melunasi uang stand. Akhirnya aku menceritakan hal sebenarnya tentang kepemilikan stand tersebut. Ternyata eh ternyata, mereka juga mengenal Dwi Utami Kamhar. “dwi utami itu selalu bikin masalah, kok kalian bisa diperdaya oleh dia?” , “ Mana saya tahu, lha wong saya taunya membayar 25 juta per orang, itu sudah termasuk uang stand. Kalo ada masalah pembayaran, tagih aja ke orangnya langsung” jawabku.

Akhirnya mereka mau menyadari keadaanku dan berbalik mengasihani aku. Begitupun Oom dan tante tante disekelilingku. .

Dan begitulah, hari hariku dipenuhi dengan stress berat. Bahkan untuk mencukur kumis dan jenggotpun aku tidak sempat, bukannya tidak ada waktu, melainkan sibuk meredam emosi.

Komunikasi dengan Dwi Utami aku putus, kalau telpon ke Indonesia aku Cuma menelpon keluarga, menanyakan kabar istriku yang mau melahirkan. Persediaan uang sudah menipis, barang2 yang kami jual Cuma laku sedikit. Aku memakai sebagian uang itu untuk bertahan hidup. Makan tidak begitu lahap, kira kira hari ke 9, aku membuka praktek pijat dadakan. Tak disangka sangka pasienku banyak. Wah, andaikan aku tahu kalau memijit itu mahal, aku lebih serius lagi mendalami ilmu ini. Aku memijat bukannya dengan asal memijat, sebab ketrampilan ini memang aku miliki ketika belajar ilmu tenaga dalam saat berlatih di perguruan ‘Marga Luyu’ dulu. Namun aku kurang serius mendalaminya. Tak kusangka… ilmu itu berguna ketika aku disana.

Sampai tulisan ini aku tampilkan, uang recehan euro hasil memijat ini masih kusimpan sebagai kenangan pahit perjalanan di Belanda, Anehnya, aku masih ingin kesana tapi dengan catatan sebagai tukang pijit. Dan menjadikan profesiku dalam bidang multimedia ini sebagai profesi sampingan.

Sepulang dari Pameran, tanggal 28 mei 2008, aku dikejutkan dengan berita gembira. Diatas trem aku mendapatkan sms dari kakak, “Anakmu sudah lahir. Lanang. Berat 3.5 kg, di bidan BuTia”

Allahuakbar… tak henti hentinya aku membisikkan kalimat2 suci untuk mensyukuri kelahiran anak ke dua ini. Aku beri nama : Ahmad Kaneko Elsinyo. Dan ibunya menambahkan Rizki ditengahnya. Maka jadilah Achmad Kaneko Rizki Elsinyo…(Ahmad, anak emas penuh rizki dan anak Lelaki) … sungguh hal itu seakan membuyarkan kegelisahanku semenjak aku meninggalkan istriku terakhir kali disaat aku mau berangkat sampai saat itu. Tak lama kemudian Hp berdering, mbak sofie menelpon. Aku menangis terharu, sedih dalam keputus asaanku. Mbak Sofie sepertinya bisa memahami perasaanku.

Setibanya dirumah nomini, aku memberitahukannya juga. Dia menanggapi dengan biasa2 saja. Saat itu aku langsung mandi, berpakaian bersih dan sholat untuk melakukan sujud syukur… dalam kebahagiaan itu, aku berbisik lirih… maafkan ayahmu ini nak, tidak bisa menemani ibumu dan membisikkan adzan ditelingamu…

Ternyata ada kebahagiaan yang lain dalam sekeping hati yang hancur ini. Terimakasih ya Allah… kisah ini memang tarasa komplit. Kau berikan seberkas cahaya dalam kegelapan hatiku..

Esoknya, aku merayakan kelahiran anakku dengan membelikan roti Turki untuk nomini da temannya di pasar tradisional. Setelah siang aku ke stand pasar malam . disana mereka memberikan ucapan selamat padaku. Pasti mbak Sofie yang kasih tahu… Kini hari hariku tidak redup lagi. Kulanjutkan aktivitas dipameran, memijat lagi, sambil berjualan barang2 murahannya Dwi utami. Saking kesalnya, aku menjual murah lukisannya. Untuk tambahan transportasi dan pembayaran uang stand.

Hari hari terakhir aku diliputi rasa bingung. Ingin tinggal terus, atau pulang. Disinalah aku dihadapkan pada 2 pilihan. Terus tinggal disana dan mencari pekerjaan, atau pulang, karena masa berlaku tiket pesawat berakhir hari itu. Kalau aku bertahan disana, siapa lagi yang mau menampungku. Nomini saja mengaku sudah di telepon polisi, dan mencurigai kalau dia menampung orang illegal. Sedangkan Mbak sofie, dia juga belum dapat pekerjaan dan tempat tinggal tetap. Statusku sudah di masukkan daftar orang dicurigai oleh kepolisian setempat, akhirnya aku memutuskan pulang ke Indonesia dengan tanpa kemenangan . untuk bertemu buah hatiku juga.

Sebelum aku meninggalkan apartemen Nomini, rupanya aku harus dihadapkan dengan sifat tamak lagi, selain dwi utami. Ternyata dia sama saja dengan Dwi utami. Yang dipikirkan adalah uang, uang dan uang. Dia bahkan menahan semua barang barang stand kami, sebab dia merasa kalau dia ikut membayar stand. Itulah yang membuatku semakin mengenali sifat dari kalangan urban disana. Mereka bertahan hidup dengan berbagai cara. Bahkan Nomini, yang setiap hari menggunakan tenagaku di pasar untuk menggelar sepatu sepatu dagangannya, sering memarahiku, mengambil sebagian besar uang hasil stand, tidak mau tahu nasibku selanjutnya. Hari hari yang sangat membingungkanku… Akhirnya kuputuskan untuk pulang, bertemu anak istriku. Dan kekalahanku.

Selama perjalanan, Amsterdam- hongkong, aku berusaha menenangkan diri, pemandangan diluar sana tidak bisa menenangkan hatiku. Yang kacau. Tidak juga keindahan Hongkong di pagi yang cerah bukit bukit yang seakan muncul dari lautan pinggiran Bandara. Aku hanya merasa kalah,

Sesampai di Jakarta, Aku nggak langsung pulang ke Malang. Menginap dulu ditempat Adi, kenalan dari mulai berangkat di Amsterdam, Tiap tahun dia diberi tugas oleh bossnya untuk menjaga stand pameran di eropa. Bosnya pemilik Outlet ternama di Jakarta : Savira Collection. ..